Akurasi lie detector atau alat deteksi kebohongan kepada tersangka kasus pembunuhan Brigadir J menjadi sorotan. Mantan Kabareskrim Polri, Komjen (Purn) Ito Sumardi mengatakan akurasi lie detector diragukan karena hanya 60 70 persen. Sementara Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyatakan bahwa lie detector atau alat polygraph milik Polri merupakan alat canggih lantaran impor dari Amerika Serikat. Bahkan, tingkat akurasinya mencapai di atas 90 persen.
Sebelumnya, Polri melakukan pemeriksaan dengan alat lie detector atau pedeteksi kebohongan kepada lima tersangka dan satu saksi dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Polri memeriksa istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dan asisten rumah tangganya Susi menggunakan alat pendeteksi kebohongan atau lie detector, Selasa (6/9/2022). Bharada E, Brigadir RR, Kuat Maruf sudah lebih dulu diperiksa pakai lie detector hasilnya mereka bicara jujur.
Tes tersebut dilaksanakan di Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat. Dedi menuturkan bahwa tingkat akurasi menandakan bahwa penggunaan lie detector merupakan pro justitia Sebab, tingkat akurasinya masih di atas 90 persen.
"Kalau di bawah 90 persen itu tidak masuk dalam ranah pro justitia. Kalau masuk dalam ranah pro justitia berarti hasilnya penyidik yang berhak mengungkapkan ke teman teman. Termasuk nanti penyidik juga mengungkapkan ke persidangan," jelasnya. Dedi mengakui bahwa lie detector memang kerap digunakan dalam pemeriksaan saksi atau tersangka dalam kasus Brigadir J. Di antaranya, pemeriksaan terhadap tersangka Putri Chandrawati dan asisten Putri, Susi.
"Jadi hasil polygraph setelah saya berkomunikasi dengan Puslabgor dan juga operator polygraph bahwa hasil polygraph atau lie detector itu adalah projustitia," katanya. Tiga tersangka kasus pembunuhan Brigadir J selesai menjalani pemeriksaan dengan alat lie detector atau pendeteksi kebohongan. Ketiga tersangka yang menjalani tes lie detector di antaranya Bharada Richard Eliezer alias Bharada E, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, dan Kuat Maruf alis KM.
Hasil tes lie detector ketiganya tidak menunjukan kebohongan. "Barusan saya dapat hasil sementara uji Polygraph terhadap RE, RR dan KM, hasilnya 'No Deception Indicated' alias Jujur," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi kepada wartawan dalam keterangan tertulis, Selasa (6/9/2022). Andi menegaskan hasil dari tes polygraph itu dilakukan sebagai bentuk membantu penyidik dan memperkaya bukti dan petunjuk untuk penyidik.
"Uji Poligraph sekali lagi saya jelaskan bertujuan untuk memperkaya alat bukti petunjuk," jelasnya. Mantan Kabareskrim Polri, Komjen (Purn) Ito Sumardi mengatakan pemeriksaan tersangka atau saksi menggunakan lie detector biasa digunakan oleh penyidik, tapi akurasi alat ini diragukan. “Ini hal yang biasa dilakukan oleh penyidik, karena pihak penyidik ingin mendapatkan hasil yang lebih optimal dari pemeriksaan saksi maupun tersangka,” jelas dia dalam dialog Kompas Malam, Kompas TV, Selasa (6/9/2022).
“Karena penyidik menduga ada hal yang disembunyikan.” Tapi, lanjut Ito, kadang kadang penyidik tidak terlalu mengandalkan alat ini karena akurasinya diragukan. Ia menyebut akurasi dari alat itu sangat tergantung pada kondisi terperiksa, termasuk jika seseorang dalam kondisi nervous atau grogi, lelah, atau sakit, maka akan sangat memengaruhi hasilnya.
“Demikian pula ada orang orang yang sudah terbiasa, biasanya residivis, dia mampu menghandel pertanyaan yang menjebak,” kata Ito. “Sehingga hasilnya menampilkan pola yang tidak menunjukkan bahwa orang tersebut berbohong.” Penggunaan lie detector, tutur Ito, biasanya dilakukan oleh penyidik sebagai suatu upaya agar hasil pemeriksaan saksi saksi ini bisa diuji kebenarannya.
“Tetapi ini tidak menjamin, bahwa yang dilakukan oleh lie detector itu tidak 100 persen benar, akurasinya 60 sampai 70 persen.” Ia menegaskan, akurasi yang tidak tepat bukan hanya dapat terjadi pada residivis saja, tetapi pada orang lain yang memang pembawaannya sangat tenang. “Sangat gugup juga bukan berarti dia bohong, tapi dia nervous, stres, lelah, itu bisa memengaruhi bahwa seolah olah dia bohong. Padahal yang disampaikan adalah benar.”
“Sehingga di negara negara maju juga lie detector ini juga tidak terlalu dijadikan alat untuk mengecek apakah orang itu menyampaikan keterangan secara benar atau tidak?” lanjutnya. Dalam dialog itu, Ito juga menjelaskan, jika mengacu pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP, alat bukti yang sah dalam perkara adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sedangkan hasil dari pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi kebohongan biasanya tidak bisa dijadikan alat bukti.
“Hasil dari lie detector biasanya tidak diakui sebagai alat bukti,” kata dia. “Kecuali apabila hasil lie detector itu dibacakan oleh ahlinya, seorang psikolog di depan pengadilan, ini bisa dijadikan alat bukti.” Ito menyebut, orang berhak menolak pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi kebohongan. Sebab itu diatur dalam undang undang.
Namun, penggunaan lie detector juga ada dasar hukumnya, yakni Sprin Kapolri. “Jadi, saya kira penggunaannya juga ada dasar hukumnya. Digunakan di pengadilan juga bisa menjadi alat bukti kalau hasil analisanya dibacakan oleh ahlinya.”